Keprihatinan terhadap terbatasnya pasokan energi di daerah terpencil mengilhami pembuatan charger multienergi. Ini dinilai solusi bagi pemakai alat elektronik di daerah yang pasokan energi listrik masih menggunakan genset.
"Ini bisa menjadi alternatif energi," kata Ariesta Satriyoko, pencipta charger ini. Dengan proyeknya yang dinamai Muvon ini, ia menciptakan charger anti polusi karena memadukan energi gerak dan tenaga matahari.
"Ini membantu di daerah terpencil, karena mereka harus keluarkan banyak energi hanya untuk charge ponsel," lanjutnya.
Dia bercerita kesulitan orang di daerah terpencil saat akan komunikasi. "Untuk melaporkan titik api saja, harus dengan genset," ujarnya.
Ariesta mengatakan bahwa pengguna handphone di Indonesia saat ini mencapai 210 juta. "Sebanyak 30 juta handphone di daerah terpencil, charge pakai genset, habis 1.000 kg karbon," tuturnya.
Jika diakumulasikan dalam setahun, kebutuhan karbon di daerah terpencil ini setara dengan kebutuhan karbon pesawat Boeing. Untuk itu, charger hasil kreasinya dapat diposisikan untuk mengurangi kebutuhan karbon.
Bentuk charger ini sebesar kotak PSP yang didalamnya terdapat dinamo putar sebagai sumber kinetik. Jika panas matahari sedang bagus, charger ini dapat menyimpan energi untuk keperluan charger ponsel.
Kualitas charger ini, kata Ariesta, sama bagusnya saat melakukan charge dengan listrik. "Daya tahannya sama, cuma waktu pengisian kalau dengan matahari butuh 7 jam, kinetik 4 jam".
Saat ini, menurutnya, memang sudah banyak charger yang menggunakan tenaga matahari. Namun, yang memadukan dengan tenaga kinetik belum ada.
"Dengan ini, saat bersepeda bisa tetap men-charge," tuturnya. Alat ini cocok untuk orang yang dinamis, mengisi baterai ponsel tanpa harus menunggu di tempat.
Per unitnya ia akan jual dengan harga 200 ribu. Namun, untuk daerah terpencil ia akan menjalin kerjasama dengan perusahaan dalam program CSR.